Likuiditas, "Senjata Rahasia" Bank Mega di Era Pandemi
23 Sep. 2020
Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah krisis corona, kondisi perbankan nasional sempat dikhawatirkan tertekan. Namun, otoritas keuangan memastikan likuiditas masih aman dan beberapa bank terbukti masih "berlimpah dana", salah satunya PT Bank Mega Tbk.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan industri perbankan saat ini dalam kondisi stabil dan terjaga. Hal ini tercermin dari rasio-rasio keuangan di industri perbankan yang masih terjaga dalam batas aman (threshold).
Menurut catatan OJK, hingga April rasio kecukupan likuiditas yakni rasio alat likuid (non-core deposit) dan rasio alat likuid terhadap DPK (dana pihak ketiga) per April 2020 terpantau pada level 117,8% dan 25,14%, jauh di atas threshold keduanya masing-masing sebesar 50% dan 10%.
"Untuk itu OJK mengharapkan masyarakat tetap tenang dan melakukan transaksi perbankan secara wajar," tulis OJK dalam pernyataan resmi pada Kamis (11/6/2020). OJK menanggapi kekhawatiran yang sempat beredar mengenai kondisi industri keuangan nasional di tengah pandemi.
Pernyataan OJK tersebut bukan hanya "gincu di bibir", demi menenangkan pasar melainkan berbasis data dan fakta secara umum. Tentu ada bank-bank kecil yang sedang kepayahan, tetapi jika bicara risiko sistemik, kondisi industri perbankan masih sangat kuat.
Likuiditas yang kuat bisa ditemukan di PT Bank Rakyat Indonesia Tbk sebagai bank beraset terbesar nasional dan juga paling menguntungkan, dengan rasio Liquidity Coverage Ratio (LCR) per Maret 2020 yang di kisaran 230%, atau di atas threshold sebesar 100%.
Betul bahwa BRI terkategori sebagai bank Buku IV (bermodal inti di atas Rp 30 triliun). Lalu apakah kondisi serupa juga terjadi di bank Buku III (bermodal inti Rp 5 triliun - Rp 30 triliun)? Tim Riset CNBC Indonesia mengambil sampel dari laporan bulanan PT Bank Mega Tbk.
Berdasarkan data per April 2020, terlihat bahwa bank berkode saham MEGA tersebut masih memiliki likuiditas yang besar, yakni senilai Rp 22,4 triliun, terutama berasal dari penempatan dana di Bank Indonesia (BI) dalam kontrak reverse repo. Kontrak yang bisa dicairkan sewaktu-waktu ini nilainya mencapai Rp 17,5 triliun.
Lalu jika ditambahkan dengan likuiditas sekunder, yakni dana penempatan bank lain serta obligasi korporasi yang juga bisa dicairkan dalam jangka waktu kurang dari sebulan, maka likuiditas Bank Mega mencapai Rp 30,5 triliun.
2. Pentingnya Likuiditas di Tengah Krisis Corona
Jika diperhatikan, likuiditas Bank Mega yang mencapai Rp 30,5 triliun ini dua kali lipat lebih besar dari modal inti perseroan yang per 2019 berada di level Rp 14,7 triliun. Ini merupakan indikator yang positif di tengah situasi krisis seperti sekarang.
Berbeda dari modal inti yang merupakan "jantung perusahaan" untuk mengukur kekuatan mendorong usaha dan menutup risiko dalam jangka panjang, likuiditas menunjukkan kemampuan bank memenuhi kebutuhan jangka pendeknya (yang sewaktu-waktu diperlukan).
Mengutip definisi yang disusun Bank Indonesia (BI), likuiditas dimaknai sebagai "kemampuan untuk memenuhi seluruh kewajiban yang harus dilunasi segera dalam waktu yang singkat". Sebuah perusahaan dikatakan likuid jika mempunyai alat pembayaran berupa aset lancar yang besar.
Jika dibandingkan dengan Dana Pihak Ketiga (DPK), likuiditas Bank Mega setara 40% dana masyarakat yang dikelola dan 29% dari asetnya. Dengan kata lain, dana siaga yang sewaktu-waktu bisa dipakai Bank Mega (untuk ekspansi, pendanaan internal, restrukturisasi, dll) nyaris sepertiga dari asetnya dan separuh dari DPK, menjadi salah satu yang terkuat di Indonesia.
Di tengah situasi krisis yang menekan penerimaan, sementara tagihan jalan terus, dan risiko usaha meningkat dengan lonjakan kebutuhan restrukturisasi kredit dan pencadangan (provisi) kredit bermasalah, peran likuiditas pun sepenting darah dalam tubuh manusia.
Direktur Utama Bank Mega Kostaman Thayib mengatakan layaknya darah dalam tubuh sebuah bank, likuiditas sangat penting untuk dijaga kecukupannya, terutama untuk menghadapi kondisi resesi agar kegiatan operasional sebuah bank tetap berjalan secara normal.
"Meskipun saat ini bukan waktu yang tepat untuk berekspansi, likuiditas yang kuat memberi kami kelonggaran untuk melakukan restrukturisasi kredit debitur yang terkena dampak pandemi Covid-19 dan mengamankan dana nasabah yang ditempatkan di Bank Mega," tutur Kostaman kepada CNBC Indonesia, pada Senin (15/6/2020).
Selama ini bank Buku III dikenal sebagai kelompok bank yang mengalami persoalan likuiditas ketat karena LDR mendekati angka 100%. Artinya, dana yang disalurkan sudah nyaris sama besar dengan dana masyarakat yang disimpan. Istilahnya, kondisi likuiditasnya sudah ketat.
Namun, Bank Mega mencuri perhatian karena menjadi Bank Buku III dengan likuiditas yang sangat longgar. Perseroan mencatat Loan to Deposit Ratio (LDR) di level 67,48%. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata LDR industri perbankan yang sebesar 92,55%berdasarkan data terbaru per Maret 2020.
Persoalan likuiditas ini menjadi perhatian BI dan OJK, yang di era pandemi ini dibekali "alat tempur" baru untuk melawan risiko krisis, mulai dengan suntikan likuditas ke sistem keuangan, hingga kewenangan mempercepat proses restrukturisasi dan merger bank bermasalah.
Ini tertuang di Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara & Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
3. Peluang Lolos Lagi dari Krisis
Secara umum, kondisi industri perbankan masih aman jika melihat beberapa indikator keuangan. Data OJK menyebutkan rasio permodalan (capital adequacy ratio/CAR) industri perbankan berada di level 22,13% per April. Ini terhitung masih sangat sehat karena jauh di atas batas aman yang ditetapkan BIS (Bank for International Settlement) di angka 8%.
Sementara itu, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) gross berada di angka 2,89% sedangkan NPL net di angka 1,09%. Batas yang dianggap aman untuk NPL adalah 5%, yang lagi-lagi menunjukkan bahwa tekanan di sektor riil akibat corona belum memukul perbankan kita.
Namun, pemerintah tentu saja harus tetap waspada, dengan menyiapkan berbagai skenario (mulai dari yang terbaik hingga yang terburuk), lengkap dengan formula kebijakan yang bisa dijalankan untuk mencegah maupun menanganinya.
Untuk menjaga likuiditas perbankan, Presiden Joko Widodo merilis Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 yang memungkinkan penempatan dana negara untuk mendukung bank yang tengah merestrukturisasi dan/atau memberikan tambahan kredit/pembiayaan.
Mengutip data OJK pada Sabtu (16/5/2020), penanganan kebutuhan likuiditas untuk sektor jasa keuangan bakal terlebih dahulu diarahkan bersumber dari kapasitas internal bank, melalui Pasar Uang Antar Bank (PUAB), pasar repo, dan Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) BI.
Jika hal itu masih belum cukup, maka bank yang bersangkutan bisa mengajukan permintaan bantuan likuiditas dari pemerintah. Pemerintah akan menempatkan dana dukungan likuiditas di Bank Peserta. Risiko yang ditanggung pemerintah adalah risiko di Bank Peserta tersebut, yang bakal dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Selanjutnya, bank pelaksana mengajukan proposal penyangga likuiditas kepada Bank Peserta. perusahaan pembiayaan/bank perkreditan rakyat mengajukan proposal penyangga likuiditas kepada Bank Pelaksana/Bank Kreditur. Risiko kredit Bank Peserta dari penempatan likuiditas ke Bank Pelaksana dimitigasi dengan Agunan Kredit.
Sejarah mencatat Bank Mega pada masa krisis moneter 1997 berhasil bertahan dan lolos menjadi satu dari sediit bank yang tetap tumbuh tanpa bantuan pemerintah. Beberapa bank lain yang juga setrong saat itu adalah Citibank, Deutche Bank dan HSBC.
Kini, di tengah krisis corona yang berdampak pada tersendatnya aktivitas bisnis dan ekonomi, Bank Mega akan tetap kuat dengan mengandalkan likuiditasnya yang masih berlebih ketika muncul tagihan dan kewajiban jangka pendek, tanpa perlu dana talangan pemerintah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Sumber:CNBC Indonesia